Custom Search

Usai Ruyati, 303 WNI Terancam Hukuman Mati

BEKASI-JAKARTA

Eksekusi pancung terhadap Ruyati binti Satubi, 54, membuat masyarakat Indonesia terhenyak, tidak percaya saudaranya setanah air terlepas kepala dari badannya. Publik semakin dibuat kaget pada fakta yang menunjukkan ratusan warga Indonesia lainnya di luar negeri terancam hukuman mati.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di hadapan wakil rakyat di Senayan, Senin, 20 Juni 2011 mengatakan, tidak kurang dari 303 warga Indonesia di mancanegara terancam hukuman mati, baik dihukum pancung, gantung atau hukuman mati bentuk lainnya. Kasus-kasus ini terjadi sejak 1999 dan masih berlangsung di pengadilan hingga saat ini.

Natalegawa menjelaskan bahwa negara terbanyak tempat WNI terancam hukuman mati adalah WNI di Malaysia dengan 233 kasus. Negara kedua dengan jumlah WNI terbanyak adalah China dengan 29 kasus, semuanya adalah kasus narkoba.

Negara ketiga dengan kasus terbanyak adalah Arab Saudi dengan 28 kasus, di antaranya 22 kasus pembunuhan dan enam kasus lainnya. Sisanya adalah 10 Orang di Singapura, 1 orang di Uni Emirat Arab, 1 orang di Mesir dan 1 orang di Suriah.

"Yang telah dieksekusi di Arab ada tiga orang, termasuk Ruyati," jelas Marty.

Dari berbagai kasus tersebut, ujar Natalegawa, sebanyak 29 orang telah berhasil dibebaskan atau dipulangkan kembali ke tanah air karena terbukti tidak bersalah. Sementara 55 orang lainnya berhasil lolos dari hukuman mati dan mendapatkan keringanan berupa hukuman penjara.

Sebanyak 216 sisanya masih dalam proses pengadilan, menunggu penentuan nasib mereka. Natalegawa mengatakan bahwa dalam semua kasus tersebut, perwakilan Indonesia di kedutaan maupun konsulat terus mendampingi proses pengadilan.

"Satu orang pun saudara kita yang dihukum mati adalah sesuatu yang tidak bisa kita terima," tegas Natalegawa.

Saat ini yang paling menjadi sorotan masyarakat Indonesia adalah berbagai kasus yang menimpa TKI di Arab Saudi, negara penganut hukum syariah. Karena di negara fundamentalis ini Ruyati meregang nyawa pada Sabtu pekan lalu.

Ruyati tidak sendiri, terdapat 26 orang lainnya yang harap-harap cemas menanti keputusan pengadilan. Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu, Tatang Razak, kepada VIVAnews mengatakan dari 26 orang tersebut sebanyak 17 WNI masih dalam proses hukum.

"Kami sedang mencari pemaafan (Tanazul) dari pihak keluarga korban," ujar Tatang.

Menurut hukum di Arab Saudi, hukuman qishas atau bunuh dibalas bunuh dapat diperingan dengan adanya kata maaf dari keluarga korban. Maaf tentunya tidak semudah itu, perlu adanya pendekatan dan lobi kepada pihak keluarga dengan dibantu pengacara dan wakil dari kedubes RI maupun konjen.

Sebanyak 6 WNI yang tersandung masalah serupa sudah dimaafkan oleh keluarga korban. Namun, mereka harus membayar diyat atau uang denda yang besarnya ditentukan oleh ahli waris korban. Di antara diyat terbesar yang harus dibayar adalah pada kasus Darsem binti Dawud Tawar sebesar SAR2 juta atau sekitar Rp4,7 miliar.

"Dari keenam ini, hanya Darsem yang membunuh majikannya, orang Arab, sisanya membunuh sesama warga negara Indonesia," ujar Tatang.

Jika kasus ini adalah pembunuhan WNI oleh WNI juga, Tatang mengatakan diyatnya tidak terlalu besar. "Kasus menyangkut WNI hanya memungut diyat Rp400.000 atau bahkan di bawah itu. Bahkan ada yang diberikan ampunan tanpa perlu membayar diyat," jelas Tatang.

Di antara kasus tersebut ada satu kasus yang tidak dimaafkan oleh pengadilan di Arab Saudi. Kasus ini melibatkan tiga PSK asal Indonesia di Arab Saudi yang membunuh 'Mami' mereka dan memotongnya menjadi sembilan bagian.

Tatang mengatakan bahwa ketiga orang ini sebenarnya sudah dimaafkan oleh keluarga korban, namun melihat kesadisan pembunuhan tersebut, pengadilan Arab Saudi mengabaikan pemaafan dari keluarga dan meneruskan proses hukum. "Mereka telah dimaafkan, tapi tetap akan dieksekusi," jelas Tatang.

Kasus Darsem

Di antara semua kasus tersebut, kasus Darsem yang ada di depan mata. Tanggal 7 Juli nanti batas pembayaran diyatnya telah jatuh tempo. Jika tidak membayar, dapat dipastikan nyawanya akan melayang.

Kasus wanita asal Subang, Jawa Barat, ini bermula saat Darsem terbukti membunuh majikannya, seorang warga negara Yaman pada Desember 2007. Sidang pengadilan di Riyadh, pada 6 Mei 2009, menjatuhkan hukuman pancung bagi Darsem.

Tatang pada Februari lalu mengatakan bahwa Darsem terpaksa membunuh karena majikannya hendak memperkosa dia. Pembunuhan ini, ujarnya, dilakukan secara sengaja untuk mencegah aksi bejat majikannya.

“Darsem mengaku melakukan pembunuhan semata-mata untuk menjaga diri dan kehormatannya,” ujar Tatang.

Darsem akhirnya lolos dari eksekusi mati setelah mendapat pengampunan dari keluarga korban. Pada 7 Januari 2011, ahli waris korban diwakili Asim bin Sali Assegaf bersedia memberikan maaf kepada Darsem dengan kompensasi uang diyat sebesar Rp4,7 miliar yang dapat dicicil dalam jangka waktu enam bulan. Pernyataan tanazul tersebut telah disampaikan KBRI di Riyadh kepada pengadilan setempat guna pemrosesan selanjutnya.

Menanggapi kasus ini, berbagai instansi swasta, termasuk media dan berbagai organisasi non pemerintahan bergerak mengumpulkan dana. Antusiasme masyarakat kala itu sangat besar. Tanggal 6 Maret 2011, Menteri Tenaga Kerja, Muhaimin Iskandar. menegaskan bahwa uang untuk pembebasan Darsem itu sudah terkumpul Rp4 miliar. Namun, pihak keluarga mengaku tidak menerima sepeser pun dari uang tersebut.

"Uang untuk Darsem itu siapa yang pegang? Katanya ada uang dari masyarakat. Seratus perak pun saya belum terima. Demi Allah saya belum terima," kata ayah Darsem, Daud, dalam perbincangan dengan Apa Kabar Indonesia di tvOne, 20 Juni 2011.

Pemerintah Janji Bayarkan Diyat Darsem

Kasus Ruyati seakan menjadi cambuk pengingat masyarakat atas kasus Darsem yang sempat membias dalam beberapa bulan terakhir. Perbincangan mengenai kelanjutan nasib Darsem dibahas kemarin di DPR, dihadiri oleh perwakilan kemlu dan komisi I.

Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq, mengatakan bahwa pemerintah memutuskan untuk mengalokasikan anggaran negara yang termuat di APBN untuk pembayaran diyat Darsem. Siddiq mengatakan dana sebesar 4,7 miliar tersebut akan diambil dari pos anggaran WNI Kemlu tahun 2011.

"Komisi I juga menegaskan kembali peran kemenaker dan BNP2TKI untuk tangani kasus serupa," ujar mahfud.

Mahfud mengatakan bahwa pembayaran diyat ini akan dilakukan secepatnya, karena jatuh tempo pembayarannya tinggal menghitung hari. Memang harus secepatnya, karena leher putri bangsa penghasil devisa jadi taruhan.

Setelah diyat dibayarkan, hampir dapat dipastikan Darsem lolos dari maut. Namun Darsem tidak lantas lolos dari hukuman penjara.

Tatang mengatakan lolosnya seseorang dari hukuman pancung adalah karena ampunan dari keluarga korban. Sementara, negara tempat penghukum berada masih harus menjalankan hukuman sesuai dengan perbuatan tersangka.

Tatang mengatakan hukuman yang akan dijatuhkan adalah hukuman penjara, dipotong penjara selama proses pengadilan. "Pengadilan akan memutuskan berapa lama akan dipenjara tergantung kasusnya," jelas Tatang.

(http://fokus.vivanews.com/news/read/228074-setelah-ruyati--siapa-lagi-)



RELATED POST :


LIFE STYLE TOPIC :

0 comments:

Post a Comment

 
Custom Search