Custom Search

Buku Putih Kasus Century (1) Krisis Ekonomi Global dan Kondisi Perekonomian Domestik

BEKASI-JAKARTA

Departemen Keuangan (Depkeu) telah menerbitkan 'buku putih' tentang penjelasan penanganan Bank Century. Buku ini telah disebar ke publik dan terdiri dari 72 halaman. Berikut inti dari penjelasan tersebut seperti dokumen soft copy yang diterima detikcom, Rabu (12/1/2010).

Beberapa penjelasan yang disampaikan terdiri dari:

1. Krisis Ekonomi Global
2. Kondisi Perekonomian Domestik
3. Respon Global dan Negara Tetangga
4. Respon Pemerintah Indonesia
5. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)
6. Pengertian Dampak Sistemik
7. Kronologis Penanganan Bank Century
8. Rapat KKSK 20-21 November 2008
9. Landasan Hukum dari Kebijakan
10. Peran Institusi dalam Penanganan Bank Century

Buku ini disusun oleh Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Rencananya siang ini Menkeu Sri Mulyani akan memberikan keterangan di depan Pansus Angket Century terkait kasus penyelamatan Bank Century ini.

Berikut petikan dari buku putih itu yang akan dimuat secara berseri:

KRISIS EKONOMI GLOBAL

Berawal dari permasalahan kegagalan pembayaran kredit perumahan (subprime mortgage default) di Amerika Serikat (AS), krisis kemudian menggelembung merusak sistem perbankan bukan hanya di AS namun meluas hingga ke Eropa lalu ke Asia. Secara beruntun menyebabkan effect domino terhadap solvabilitas dan likuiditas lembaga-lembaga keuangan di negara negara tersebut, yang antara lain menyebabkan kebangkrutan ratusan bank, perusahaan sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi. Krisis kemudian merambat ke belahan Asia terutama negara-negara seperti Jepang, Korea, China, Singapura, Hongkong, Malaysia, Thailand termasuk Indonesia yang kebetulan sudah lama memiliki surat-surat beharga perusahaan-perusahaan tersebut.

Dari berbagai kritik para ahli, bahwa problem tersebut dipicu maraknya penggelembungan harga perumahan di AS yang didorong kebijakan-kebijakan Bank Sentral Amerika (the Fed) yang kurang pruden untuk menstabilkan sistem keuangan sejak bertahun-tahun. Kondisi ini didorong oleh keinginan untuk memelihara permintaan properti perumahan agar tetap tinggi, maka bank-bank di Amerika Serikat banyak mengucurkan kredit perumahan terutama bagi kalangan berpenghasilan rendah yang tidak memiliki kapasitas keuangan yang memadai (ninja loan yaitu pinjaman terhadap nasabah yang no income, no job, & no asset). Kredit perumahan ini kemudian disekuritisasi secara hibrid agar lebih menarik bagi investor yang terdiri dari bank, perusahaan sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi. Celakanya, banyak kredit tak terbayar dalam jumlah besar dan merata. Akibatnya, bank-bank kesulitan untuk membayar dan investor dengan cepat menarik dananya dari produk-produk perbankan disaat harga masih tinggi sehingga hal ini memacetkan perputaran uang di pasar hipotik. Hal ini menyebabkan pula struktur pasar uang yang produknya saling terkait satu sama lain menjadi terganggu. Termasuk juga jaminan obligasi utang (collaterlaised debt obligation/CDO) sebagai bentuk investasi kolektif dari sub-prime mortgage.

Lehman Brothers mengumumkan kerugian bertahap sebelum akhirnya bangkrut. Pada 16 Juni 2008, perusahan itu mengumumkan kerugian senilai 2,8 miliar dolar AS untuk paruh ke-dua 2008. Dilanjutkan dengan kerugian sebesar 3,9 miliar dolar AS pada paruh ke-tiga 2008 (10 September) dan berujung pada pengumuman kepailitannya pada 15 September 2008. Keguncangan serupa juga dialami secara hampir bersamaan oleh Merryl Linch, Citigroup, AIG dan berbagai lembaga keuangan besar lain.

Ini berimbas ke pelemahan sektor riil dengan kebangkrutan berbagai perusahan besar di AS seperti General Motors, Ford, dan Chrysler sehingga mengancam kelangsungan kerja ribuan karyawannya. Benar saja, tingkat pengangguran di AS meningkat mencapai 6,7% seiring dengan peningkatan pesimisme di kalangan konsumen dan investor sepanjang kurun September – November 2008. Itu merupakan tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) terbesar dalam 34 tahun terakhir. Tercatat 533.000 karyawan di-PHK dan mencapai total 1,91 juta orang pada tahun 2008. (sumber: departemen tenaga kerja AS). Seiring dengan itu, pada 30 November 2008, pemerintah AS juga mengumumkan penurunan nilai real PDB untuk paruh III 2008 sebesar 0,3%.

Demikian halnya juga di Eropa, krisis perbankan di Eropa ditandai dengan permasalahan di sebuah bank kecil di Inggris, yaitu Bank Northen Rock, pada pertengahan 2007 lalu. Northern Rock sejatinya adalah sebuah bank swasta berskala kecil di Inggris. Namun, ketika terjadi gonjang-ganjing krisis pada Agustus 2007 lalu bank ini jadi sorotan publik. Penarikan dana besar-besaran yang dilakukan oleh para nasabah memicu sentimen negatif pasar. Antrian panjang nasabah yang ingin menarik dananya dari bank ini disiarkan oleh berbagai stasiun TV di dunia. Untuk pertama kalinya dalam 140 tahun terakhir, Inggris mengalami kekacauan perbankan. Meskipun sudah diberi pinjaman darurat pada 13 September 2007 oleh Bank Sentral Inggris (Bank of England), Northern Rock akhirnya di-nasionalisasi pada 17 Februari 2008 untuk mencegah dampak sistemik perekonmian di Inggris. Sejak kejadian itu, beberapa bank di Inggris juga di-nasionalisasi. Pemerintah mengambil sebagian porsi saham di bank-bank swasta tersebut sebagai bagian dari program rekapitalisasi. Kasus Bank Northern Rock ini menjadi satu kasus pelajaran penting bahwa bank berskala kecil pun dapat menimbulkan dampak psikologis negatif di masyarakat.
Kondisi buruknya perekonomian dunia diperjelas dengan rilis dari Lembaga Moneter Internasional (IMF) pada 6 November 2008 yang memprediksi pertumbuhan ekonomi negatif untuk Amerika Serikat (-0,7), empat negara di Eropa (-0,5) dan Inggris (-1,3) untuk tahun 2009. Tampak pula tren penurunan pertumbuhan negara-negara tersebut sejak 2007 hingga 2009.

Untuk negara Asia seperti China, Jepang, dan India sebagai ikon pertumbuhan ekonomi di Asia juga tak luput dari hantaman krisis. Berdasarkan prediksi IMF pada 6 November 2008, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi negatif (-0,2) pada 2009. Sementara China mengalami penurunan dari 11,9% pada 2007 menjadi 9,7% pada 2008 dan diprediksi terus turun menjadi 8,5% pada 2009. Demikian juga dengan India yang berturut-turut mengalami tren penurunan pertumbuhan ekonomi yaitu 9,3% pada 2007 menjadi 7,8% pada 2008 dan dipredikisi terus turun menjadi 6,3% pada 2009.

KONDISI PEREKONOMIAN DOMESTIK

Sebagai salah satu pelaku pasar dunia, Indonesia tentu juga tak luput dari hantaman krisis. Indikasi krisis di Indonesia ditunjukkan oleh berbagai indikator yaitu:

1. Pasar SUN mengalami tekanan hebat tercermin dari penurunan harga SUN atau kenaikan yield SUN secara tajam yakni dari rata-rata sekitar 10% sebelum krisis menjadi 17,1% pada tanggal 20 November 2008; (catatan: setiap 1% kenaikan yield SUN akan menambah beban biaya bunga SUN sebesar Rp1,4 Triliun di APBN).

2. Credit Default Swap (CDS) Indonesia mengalami peningkatan secara tajam yakni dari sekitar 250 bps awal tahun 2008 menjadi diatas 980 bps pada bulan November 2008. Hal ini menunjukkan bahwa pasar menilai country risk Indonesia yang tinggi pada saat itu.

3. Terdapat gangguan likuiditas di pasar karena peningkatan liquidity premium akibat pelebaran bid-ask spread dalam perdagangan di pasar saham, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadi capital flight;

4. Cadangan Devisa mengalami penurunan 13% dari USD 59.45 milyar per Juni 2008 menjadi 51.64 milyar per Desember 2008 yang mengindikasikan terjadi capital flight.

5. Rupiah terdepresiasi 30.9% dari Rp 9.840 per Jan 2008 menjadi Rp 12.100 per Nopember 2008 dengan volatilitas yang tinggi.

6. Banking Pressure Index (dikeluarkan oleh Danareksa Research Institute) dan Financial Stability Index (dikeluarkan oleh BI) yang sudah memasuki dalam ambang batas kritis. Banking Pressure Index per Oktober 2008 sebesar 0,9 atau lebih tinggi dari ambang normal 0,5. Sementara itu, Financial Stability Index per November 2008 sebesar 2,43 atau di atas angka indikatif maksimum 2,0. Ini menunjukkan bahwa sistem perbankan dan sistem keuangan domestik dalam keadaan genting. Semakin tinggi nilai BPI (positif), semakin vulnerable sistem perbankan negara yang bersangkutan.

7. Terdapat potensi terjadi capital flight yang lebih besar lagi dari para deposan bank karena tidak adanya sistem penjaminan penuh (full guarantee) di Indonesia seperti yang sudah diterapkan di Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan dan Korea, disamping Uni Eropa.

Gambaran dan fakta-fakta tersebut di atas, sejak pertengahan tahun 2008, ketegangan dan kecemasan terjadi di mana-mana, investor besar di pasar modal seperti Dana Pensiun, Asuransi, dan Reksa Dana termasuk masyarakat biasa. Psikologis pasar saat itu menusuk dan menekan karena nilai investasi terkuras tajam hampir rata-rata 40 %. Lebih dasyat lagi, pinjaman antar Bank telah berhenti sama sekali dan dapat dikatakan likuiditas di pasar perbankan tidak ada sama sekali. Keadaan ini mendorong Pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan secara cepat dan tepat waktu dengan melakukan perubahan-perubahan penilaian aktiva. Masih dalam ingatan kita semua bahwa hampir semua industri dan para pengamat termasuk perseorangan baik dalam negri maupun luar negeri menyambut respon Pemerintah tersebut.

Melihat perkembangan kondisi makro ekonomi pada saat itu, satu bulan sebelum Bank Cetury masuk ke KSSK, Drajad Wibowo sempat menanggapi ancaman krisis global. "Pemerintah harus menentukan manuver-manuver politiknya dan segera melakukan tindakan untuk meredam krisis yang sedang melanda Indonesia. Pemerintah sebaiknya mengambil langkah nyata selagi Indonesia belum merasakan benar jalaran badai krisis AS. Kita bisa ambil contoh bagaimana negara bagian Florida bergerak cepat mengungsikan warganya ketika badai Katarina menerjang daerah tersebut."(detikNews)



http://bekasijakarta.blogspot.com/

0 comments:

Post a Comment

 
Custom Search