BEKASI-JAKARTA. Pertama, setiap pengendara sepeda motor di jalan harus memiliki surat izin mengemudi untuk sepeda motor dan (harus) mampu mengendarai kendaraannya dengan wajar. Kedua, pengemudi dan penumpang wajib menggunakan helm yang telah direkomendasikan keselamatannya dan terpasang dengan benar. Ketiga, pengendara sepeda motor wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki.
Ketiga hal di atas adalah cuplikan dari Undang-Undang Nomor 14 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dikeluarkan pada tahun 1992. Jika saja ketiga hal itu diterapkan, tentunya angka kecelakaan lalu lintas bisa ditekan ke batas yang minimum. Sayangnya, dalam kenyataan sehari-hari di jalan, dengan mudah
disaksikan pelanggaran terhadap ketiga hal itu. Di berbagai ruas jalan dengan mudah ditemui pengendara yang mengendarai sepeda motor secara ugal-ugalan atau melawan alur lalu lintas (di jalan satu arah).
Banyak pula pengendara dan penumpang sepeda motor yang tidak menggunakan helm. Atau kalaupun pengendara menggunakan helm, helm itu tidak memenuhi standar yang ditetapkan dan tidak terpasang secara benar. Sedangkan penumpang sepeda motor sebagian besar tidak menggunakan helm, kecuali bagi sepeda motor yang melintas di jalan-jalan protokol. Kalaupun menggunakan helm, biasanya helm itu hanya digunakan sebagaimana layaknya menggunakan topi. Tali penahan helm tidak dikaitkan.
Yang paling parah adalah pelaksanaan kewajiban untuk mengutamakan keselamatan pejalan kaki. Rasanya hampir tidak ada satu pengendara sepeda motor pun yang melaksanakan kewajiban ini, terutama di ruas-ruas jalan di mana sepeda motor yang melintas jumlahnya belasan atau puluhan. Dalam kondisi seperti itu, pejalan kaki sangat diabaikan. Para pengendara sepeda motor seakan tidak merasa perlu mengurangi kecepatannya jika mobil, minibus, bus, atau truk berhenti untuk memberikan kesempatan bagi pejalan kaki untuk menyeberang. Akibatnya, pejalan kaki sering menjadi korban. Kadang-kadang pengendara dan
penumpang juga menjadi korban karena sepeda motor terjatuh atau ditabrak oleh sepeda motor yang melaju di belakangnya.
Ada banyak alasan yang bisa dikemukakan tentang mengapa keadaan seperti itu terjadi. Tetapi, inti persoalannya: apakah keadaan ini akan dibiarkan terus terjadi?
Jarak aman dan titik mati
Itu baru pada tahapan awal. Pada tahapan selanjutnya, pengendara sepeda motor juga harus mengetahui tentang jarak aman dengan kendaraan lain saat melaju dengan kecepatan tinggi dan juga mengenai titik mati (blind spot). Setiap orang mempunyai pendapat sendiri tentang hal tersebut, tetapi penting diingat bahwa jarak aman itu berubah-ubah sesuai dengan kecepatan kendaraan. Kecepatan 60 kilometer per jam sama dengan 16,66 meter per detik. Itu berarti dalam waktu satu detik kendaraan bergerak sejauh 16,6 meter. Dan, kecepatan 80 kilometer per jam sama dengan 22,22 meter per detik, atau dalam waktu satu detik kendaraan bergerak sejauh 22,22 meter.
Dengan kata lain, jika seorang pengendara, baik itu pengendara sepeda motor maupun pengendara mobil, dalam kecepatan 80 kilometer per jam melaju di belakang kendaraan lain dengan jarak 10 meter, dipastikan ia akan menabrak mobil di depannya jika mobil itu secara mendadak berhenti. Ini mengingat seseorang memerlukan waktu satu detik untuk bereaksi (termasuk menginjak rem), dan 1 detik itu dalam kecepatan 80 kilometer berarti 22,22 meter.
Khusus yang berkaitan dengan titik mati, pengendara sepeda motor perlu menyadari bahwa bukan hanya dirinya mempunyai titik mati, pengendara mobil pun mempunyai titik mati. Itu sebabnya penting bagi pengendara sepeda motor untuk membuat kehadirannya diketahui oleh pengendara mobil, bus, atau truk yang berada di dekatnya.
Seandainya pengendara tertib dalam berlalu lintas, berapa banyak nyawa yang dapat diselamatkan?
0 comments:
Post a Comment