Custom Search

Transportasi Jakarta, Berpikir Jernih dan Praktis Atasi Kekacauan

BEKASI-JAKARTA

http://www.kompas.com/data/photo/2009/09/14/0820167p.jpg

Pernah kesal ketika laju mobil Anda mendadak dipotong oleh pengendara sepeda motor ugal-ugalan atau angkutan umum yang mengetem sembarangan? Frustrasi saat terjebak macet sampai tidak ada jalan untuk sepeda motor Anda? Akhirnya, trotoar pun diterjang, tak peduli kepada pejalan kaki.

Kekacauan lalu lintas di Jakarta memang terlalu kompleks untuk digambarkan. Berbagai tingkah laku buruk pengendara mulai dari kebut-kebutan, melanggar rambu, buang sampah seenaknya dari balik jendela mobil-mobil mulus, hingga meludah sembarangan sudah biasa terlihat di jalan, atau kita sendiri melakukannya? Tidak ada yang merasa bersalah.

”Semua pengendara dari yang punya mobil pribadi, sepeda motor, angkot, sampai penarik gerobak pemulung itu egois. Maunya jalannya sendiri yang lancar. Mereka atau kita sebagai pengendara jelas salah. Namun, ini semua terjadi akibat ketiadaan sistem transportasi yang memadai,” kata Tulus Abadi, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), pekan lalu.

Semua pakar atau pengamat masalah perkotaan dan pembuat kebijakan di Jakarta, sebut saja Yayat Supriyatna dan Trisbiantara dari Universitas Trisakti, Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Edie Toet Hendratno, serta Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, sepakat bahwa masalah kekacauan lalu lintas hanya bisa terurai jika mass rapid transit (MRT) bisa diwujudkan.

Namun, Rabu (9/9), Menteri Perhubungan baru menetapkan Nippon Koei sebagai pemenang konsultan desain dasar MRT. Target penyelesaian proyek yang awalnya 2016 karena keterlambatan penetapan konsultan dipastikan mundur satu-dua tahun. Paling tidak, masyarakat Jakarta harus bersabar 7-10 tahun lagi untuk bisa menikmati MRT.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bisakah warga Jakarta bertahan dalam kekacauan selama jangka waktu itu? Padahal, dipastikan angka pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor setiap tahun terus bertambah, tetapi luas jalan nyaris tidak bertambah.

Sesuai data dari Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta dan Kepolisian Daerah Metro Jaya, panjang jalan di Jakarta sekitar 7.650 kilometer dengan luas 40,1 kilometer persegi. Panjang jalan ini hanya 6,28 persen dari luas wilayahnya. Sementara jumlah kendaraan bermotor di wilayah DKI Jakarta mencapai 9.993.867 unit hingga Juni 2009.

Dinas Perhubungan DKI mencatat pertumbuhan kendaraan mencapai 10,79 persen per tahun. Sepuluh tahun ke depan, tanpa pengendalian, jumlah kendaraan bermotor bisa dua kali lipat jumlah tahun ini.

Ketua Program Studi Doktor Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hamdi Muluk kembali mengingatkan, kekacauan lalu lintas yang berimbas pada lamanya waktu berkendara di jalan menyebabkan tekanan mental pada setiap warga Jakarta. Saat tekanan makin kuat, pada waktu tertentu, kesabaran warga akan hilang. Akibatnya, warga bisa makin apatis dan sesukanya. Pada puncaknya amat mungkin terjadi amok massa.

Tiga pemecahan

Tulus Abadi menegaskan, menjamin agar hak publik, yaitu mobilitas warga yang aman, nyaman, dan tertib, terjaga adalah kewajiban pemerintah. Mau tidak mau semua pihak, khususnya pemerintah, harus mulai menentukan kebijakan yang tepat untuk mengendalikan sekaligus melindungi warga.

Sekali lagi Tulus meminta agar pemerintah tidak menelurkan solusi parsial. Solusi itu misalnya pembuatan enam ruas jalan tol. Meskipun menambah panjang dan luas jalan yang ada, namun karena tetap bermuara di ruas-ruas jalan yang ada justru memicu kemacetan yang amat besar.

YLKI, didukung para pakar perkotaan, justru meminta jalur-jalur bus transjakarta segera diselesaikan dan difungsikan, membatasi kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi, serta mulai mendidik perilaku tertib pengendara sejak dini. Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Condro Kirono dan wakilnya, Ajun Komisaris Besar Yaya Armudianto, juga mengusulkan solusi serupa.

”Meskipun banyak kekurangannya, bus transjakarta adalah salah satu angkutan massal, selain kereta api, yang saat ini sudah kita miliki. Bus jalur khusus dan kereta api harus dimaksimalkan. Apalagi sebagian besar infrastrukturnya sebenarnya sudah tersedia, tinggal digenjot saja,” kata Tulus.

Pembatasan kendaraan memang harus dilakukan. Setidaknya DKI harus bisa menekan habis pertumbuhan jumlah kendaraan. Caranya, pengurangan produksi industri otomotif, mengalihkan sasaran penjualan otomotif ke luar Jakarta, menaikkan pajak kendaraan bermotor, biaya parkir, hingga memperketat perolehan surat izin mengemudi (SIM).

Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Nuzul Achjar, yakin, ketika ide pembatasan dilontarkan, produsen otomotif akan khawatir industri mereka terganggu. Padahal, di sisi lain, ekonomi Indonesia dan juga pembangunan infrastruktur di negara ini sejak masa Orde Baru amat bergantung pada industri otomotif.

Kondisi ini sengaja diciptakan demikian karena kepentingan segelintir penguasa kala itu dan mungkin masih berlanjut hingga kini. Padahal, pembatasan bisa dilakukan tanpa membuat industri otomotif gulung tikar. Berdasarkan hasil studi YLKI di beberapa kota metropolitan, seperti New York di Amerika Serikat, Singapura, dan kota-kota besar di Asia lainnya, tingkat penjualan mobil tetap tinggi meskipun tarif parkir di pusat kota sangat mahal dan pajak dipatok tinggi.

”Ini karena mobil menjadi alat transportasi andalan bagi warga di luar kota besar. Mobilitas dari daerah pinggiran ke kota tetap ditopang oleh mobil pribadi. Namun, saat memasuki pusat kota, mereka berpindah bergantung pada angkutan umum yang lebih murah dan efisien,” kata Tulus.

Nuzul menambahkan, mobil bagaimanapun akan dilirik karena bersifat fungsional dan ekonomis saat digunakan berakhir pekan bersama keluarga. Suatu kebiasaan di negara maju yang sibuk dan kesempatan bertemu keluarga hanya pada hari Sabtu dan Minggu.

”Akan tetapi, untuk bisa menyetir mobil, tes-tes untuk mendapatkan SIM amat sulit. Bukan dipersulit, tetapi benar-benar mengajarkan dan menguji calon pengendara paham maksud rambu-rambu lalu lintas, serta bagaimana berperilaku yang baik di jalan,” kata Nuzul.

Kesimpulannya, kata Tulus maupun Nuzul, pembatasan industri otomotif tak akan merugi dan menciptakan banyak penganggur. Yang diperlukan adalah kebijakan tepat dari pemerintah dalam mengatur keseimbangan antara laju industri dan ketersediaan infrastruktur. Pekerjaan ini memang bukan menjadi beban Pemerintah Provinsi DKI, tetapi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Pendidikan dini

Selanjutnya, Tulus meminta agar pendidikan berperilaku di jalan dengan sopan dan taat rambu mulai dilakukan. Tindakan tegas dengan pengerahan petugas untuk menjatuhkan sanksi berat bagi setiap pelanggar wajib dilakukan. Selain itu, berlalu lintas menjadi bagian pelajaran wajib sejak di taman kanak-kanak. Tidak harus mengubah kurikulum, cukup masukkan dalam pelajaran tambahan secara rutin.

”Warga juga diajarkan mulai paham bahwa untuk menggunakan angkutan umum memang terkadang harus berjalan kaki ke halte, terminal, atau stasiun terdekat. Tidak seperti kendaraan pribadi yang bisa langsung dari rumah ke tujuan,” kata Tulus.

Pemerintah, lanjut Tulus, diminta mengimbangi dengan menyediakan jalur pejalan kaki yang baik. Selain itu, naik angkot memang harus mau berdesak-desakan. Namun, dengan sistem angkutan yang baik, seperti MRT, tidak ada lagi asap, bebas macet, dan tentu saja lebih cepat.

Jika pembatasan kendaraan, pembenahan sistem angkutan umum, dan pendidikan berperilaku dilakukan, dalam jangka 7-10 tahun lagi, seiring MRT terealisasi, kekacauan lalu lintas di Jakarta dapat diatasi.



0 comments:

Post a Comment

 
Custom Search