BEKASI-JAKARTA
Sikap diam yang diambil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap penetapan tersangka dua Wakil Ketua KPK serta masalah RUU Pengadilan Tipikor dinilai sebagai bentuk pembiaran dalam upaya sistematis untuk melemahkan pemberantasan korupsi."Pak SBY sengaja membiarkan polisi mengintevensi KPK. Pasti ada komunikasi antara Polri dengan SBY karena Polri dibawah Presiden," tegas Ketua Transparansi Internasional Indonesia (TII), Teten Masduki, di Kantor LBH Jakarta, Rabu (16/9).
Menurutnya, penetapan Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto sebagai tersangka merupakan bentuk kriminalisasi Polri terhadap KPK. "Awalnya dugaan suap tapi tidak dapat dibuktikan. Lalu dibawa ke penyimpangan kewenangan. Ini (tuduhan) sangat lemah. KPK memang punya kewenangan pencekalan," tegas dia.
Senada juga disampaikan peneliti ICW Febridiansyah yang mengatakan sikap diam Presiden SBY sama sekali tidak menunjukkan penyelamatan pemberantasan korupsi baik masalah RUU Pengadilan Tipikor yang kontroversial maupun kriminalisasi KPK oleh Kepolisian. "Agak sulit berharap kepada Presiden dalam pemberantasan korupsi. Apa yang sudah dilakukan SBY tidak ada yang signifikan," lontar dia.
Mengenai RUU Pengadilan Tipikor, Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Firmansyah, mengatakan Presiden memiliki otoritas yang besar dalam pembahasan RUU Pengadilan Tipikor karena pembentukan Undang-undang oleh DPR dilakukan bersama Presiden.
"Tapi tidak melakukan tekanan apa pun. Presiden harus segera menunjukkan komitmennya dan membuktikan janji-janji saat kampanye untuk berperang melawan korupsi. Presiden perlu mengontrol pembahasan RUU Pengadilan Tipikor," tegas dia. KOMPAS.com
0 comments:
Post a Comment