Custom Search

Sebuah Harapan di Tengah Puing-puing

BEKASI-JAKARTA

Sembab menghiasi wajah Nanda. Di tengah rintik hujan, dia menatap nanar ke arah alat berat yang tengah menghancurkan dinding gedung yang roboh. Di dalam reruntuhan itu, kemungkinan besar Fitria (14), anaknya, terperangkap.

http://www.kompas.com/data/photo/2009/10/01/1412407p.jpg

Nanda duduk di kursi belakang mobil patroli Satuan Polisi Pamong Praja Kota Padang yang diparkir 200 meter dari reruntuhan bangunan gedung Bimbingan Belajar Gama. Gedung yang berada di Jalan Proklamasi—salah satu kawasan perdagangan dan bisnis— itu menjadi satu dari ratusan bangunan yang runtuh ketika gempa 7,6 skala Richter melanda Padang, Sumatera Barat, Rabu (30/9) sekitar pukul 17.15.

Tidak banyak yang bisa dilakukan orangtua seperti Nanda selain hanya duduk memandangi mesin pelubang beton dan puluhan petugas yang tengah berupaya menyingkirkan reruntuhan dan mengeluarkan korban yang terperangkap. Ada harapan—yang kadang kala tampak mustahil—melihat Fitria ditemukan dalam keadaan hidup.

”Entah ada berapa banyak anak yang terperangkap. Yang jelas, saat kejadian, Fitria masih kursus,” tutur Abdullah, ayah korban, dengan sendu. Abdullah hanya bisa mengingat bahwa ada empat kelas di lantai tiga, empat kelas di lantai dua, dan tiga kelas di lantai satu. Di satu dari empat kelas di lantai tiga, Fitria yang masih duduk di kelas II SMP itu mengikuti les sejak pukul 15.30 hingga 17.30.

Hingga kemarin, Abdullah belum lagi menerima informasi tentang kondisi atau keberadaan putrinya dari pihak penyelenggara bimbingan belajar.

Bila Abdullah dan Nanda masih berharap cemas, Yen sudah tidak bisa berharap lagi ketika satu kantong jenazah di RSUP Dr M Djamil, Padang, bertuliskan nama adiknya. Air mata yang sempat tertahan ketika tim evakuasi masih mencari korban yang tertimbun di Hotel Ambacang, Rabu malam, akhirnya meleleh. ”Azar itu adik saya, bukan lagi ipar. Dia begitu perhatian kepada saya dan cepat menolong kalau saya ada masalah,” ucap Yen menahan isak.

Azar adalah istri adiknya, Syahrul. Keluarga dengan dua anak ini tinggal di dekat rumah Yen. Karena itu juga Azar dan Yen sangat dekat.

Nasib Azar berakhir setelah gempa meruntuhkan Hotel Ambacang yang berbintang empat di Jalan Bundo Kanduang. Ketika itu Azar tengah mengikuti acara Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumbar di hotel tersebut. Di kawasan itu sedikitnya lima hotel rusak akibat gempa. Sekolah, rumah ibadah, dan toko juga rusak. Gempa yang begitu cepat tidak memberi kesempatan kepada karyawan dan tamu hotel lari menyelamatkan diri. Azar akhirnya meninggal bersama puluhan orang lainnya.

Proses evakuasi

Tak hanya gedung Bimbingan Belajar Gama dan Hotel Ambacang yang runtuh dan menelan korban banyak. Di Kota Padang, gedung les bahasa Inggris Lembaga Bahasa LIA di Jalan Khatib Sulaiman juga runtuh. Sejumlah korban ditemukan selamat dan meninggal dunia.

Persoalannya, menyelamatkan nyawa—dan juga harapan seperti yang dimiliki Nanda dan Abdullah—menjadi rumit di daerah bencana. Proses evakuasi menyedot perhatian khalayak.

Di sekitar tempat Bimbingan Belajar Gama, sepanjang hari, kendaraan dan orang-orang silih berganti mengepung lokasi runtuhnya gedung di antara kedai bakso dan toko parfum itu.

Kondisi serupa terjadi di banyak tempat, termasuk di sekitar Hotel Ambacang dan Lembaga Bahasa LIA. Gedung yang dulu berdiri megah itu kini runtuh. Yang membuat hati kecut, diduga banyak korban masih terperangkap di dalam gedung itu dan gedung-gedung lainnya.

Sesaknya lokasi dengan orang yang berjubel-jubel membuat kerja petugas evakuasi jenazah terganggu. ”Mohon dengan hormat, korban sudah keluar dalam kantong jenazah. Jadi, lebih baik kalian tunggu di rumah sakit,” demikian rentetan kata petugas lewat pengeras suara.

Pengumuman itu ditujukan bagi keluarga yang mencari sanak saudara yang hilang seperti keluarga Abdullah, tetapi dapat juga diartikan untuk ”mengusir” puluhan warga yang menyemut di lokasi itu. Tindak tanduk sebagian besar warga memang tak tampak berduka, tetapi sekadar menonton.

Polisi pun jengkel. Menghardik sana-sini, menggenggam kayu balok untuk menghalau lebih banyak warga yang menonton. Angkutan kota yang melambat saat melintasi lokasi pun diusir polisi agar proses evakuasi lebih cepat. Mereka adu cepat dengan waktu. Tiap menit, tiap detik begitu berharga bagi korban yang terjebak di reruntuhan. Di perjalanan waktu itulah Abdullah dan Nanda berharap putri keempat mereka ditemukan.

Kini siapa pun harus bekerja cepat. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, yang merasa gemas saat melihat proses evakuasi di Kampung China, Padang, dan memandang perlu lebih banyak bantuan alat berat, pun tak bisa berbuat lebih sebab sulit untuk menelepon Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto.

Bahan bakar yang digunakan berkeliling kota adalah bahan bakar yang diperoleh dengan antrean panjang pada saat gempa ini. Belum lagi harga bensin yang melonjak empat kali lipat menjadi Rp 22.500-Rp 25.000 per liter. (kompas.com)

0 comments:

Post a Comment

 
Custom Search