Custom Search

Megawati Pilih PDI-P Berdikari di Parlemen

BEKASI-JAKARTA

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri memilih untuk berdikari dengan 94 anggota Dewan Perwakilan Rakyat daripada bergabung dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Menurut Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Agnita Singadikane, Selasa (13/10) malam, sikap Megawati itu telah disampaikan dalam acara pembekalan anggota DPR dari Fraksi PDI-P.

”Jadi, jelas Megawati akan menolak masuk kabinet. Hasil Rakernas (Rapat Kerja Nasional) PDI-P juga sudah menegaskan bahwa PDI-P itu oposisi,” kata Agnita.

Megawati juga telah mengingatkan semua kader PDI-P agar menjadikan partai sebagai alat untuk memperjuangkan nasib rakyat, bukan alat untuk mencapai kekuasaan.

”Elan perjuangan ini sudah melemah di elite politik karena kekuasaan, tetapi di bawah, elan perjuangan kader masih sangat tinggi,” papar Agnita lagi.

Seleksi terlalu singkat

Secara terpisah, dosen ilmu politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, menilai proses seleksi calon menteri dalam pemerintahan Yudhoyono-Boediono, yang baru dimulai sekitar satu minggu sebelum pelantikan, terlalu singkat.

Jika Presiden memiliki waktu yang panjang untuk mempelajari rekam jejak setiap calon menteri yang ada, lanjutnya, potensi terjaringnya calon menteri yang benar-benar memiliki kemampuan teknis dan mampu menerjemahkan visi Presiden sangat besar.

Sebagai calon presiden terpilih yang menang pemilu satu putaran, Yudhoyono sebenarnya memiliki waktu sekitar tiga bulan untuk menyeleksi calon-calon menterinya dengan baik. Jika ada 34 pos kementerian dan setiap pos terdapat tiga kandidat, setidaknya ada sekitar 100 calon menteri yang akan diseleksi.

Meskipun Yudhoyono sudah mengantongi beberapa nama calon menteri tertentu sejak lama, Andrinof meyakini tetap akan ada beberapa pos menteri yang diisi secara mendadak dan kurang dipertimbangkan secara sungguh-sungguh seperti dalam pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu lima tahun lalu.

Menteri-menteri yang terpilih pada akhir masa seleksi atau menjelang pengumuman susunan kabinet umumnya dipilih secara asal-asalan.

”Tawar-menawar politik umumnya lebih mengemuka saat menghadapi kondisi sempitnya waktu seleksi,” ujarnya.

Untuk kualitas pemerintahan yang baik, menteri bukan hanya perlu memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai. Setiap calon menteri juga harus bisa menunjukkan kemampuan kerja untuk menjalankan dan menyukseskan program-program presiden. Calon menteri itu juga harus menunjukkan kemampuan pengelolaan anggaran yang baik di departemennya.

”Indonesia membutuhkan menteri yang memiliki kemampuan mengeksekusi kebijakan dan memiliki visi ke depan yang jelas sebagai pelaksanaan dari visi presiden dan wakil presiden,” kata Andrinof.

Cakap

Zuly Qodir, aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah yang juga menjadi anggota Majelis Pemberdayaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, berharap Presiden Yudhoyono memilih menteri yang cakap dan ahli di bidangnya. Jangan sampai menteri dipilih hanya karena faktor kedekatan atau dianggap berjasa dalam pemilu presiden.

”Menteri itu harus profesional. Artinya, harus cakap, ahli, dan mumpuni di bidangnya,” katanya.

Apabila Presiden tetap memilih menteri hanya karena kedekatan, dikhawatirkan menteri tidak memiliki inisiatif apa pun untuk perubahan dan perbaikan bangsa. Hal itu juga dikhawatirkan bisa merusak demokratisasi di Indonesia.

”Karena kemungkinan yang ada malah asal bapak senang, seperti pada masa pemerintahan Soeharto,” ujarnya.

Pengajar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tersebut berharap posisi-posisi penting dalam kabinet diisi oleh kalangan profesional. Menteri Pendidikan dan Menteri Agama, menurut dia, sebaiknya berasal dari kalangan profesional, bukan afiliasi partai politik.

Begitu pula Menteri Pertahanan akan lebih baik jika berasal dari kalangan yang memiliki pengetahuan strategis kemiliteran. Untuk Menteri Komunikasi dan Informatika, Presiden bisa memilih dari kalangan praktisi media massa.

Benny Susetyo, aktivis kebebasan beragama yang juga Sekretaris Dewan Nasional Setara Institut, berpendapat, Presiden harus memilih menteri yang tidak pernah melanggar hak asasi manusia.

”Tidak hanya bersih (dari praktik korupsi), tetapi juga tidak pernah melanggar hak asasi manusia,” katanya.•KOMPAS.com

0 comments:

Post a Comment

 
Custom Search